SYARAT-SYARAT
PERAWI DALAM MENTRANSFORMASI PERIWAYATAN HADITS
- Syarat-syarat seorang perawi
Syarat-syarat yang
harus terpenuhi seseorang ketika menyampaikan riwayat hadits sehingga
periwatannya dinyatakan sah ialah orang itu harus :
- Beragama Islam.
- Baligh.
- Berakal.
- Tidak fasiq.
- Tidak terdapat tingkah laku yang mengurangi atau menghilangkan kehormatan (muru’ah).
- Mampu menyampaikan hadits yang telah dihafalnya.
- Sekiranya dia memiliki catatan hadits, maka catatan itu dapat dipercaya.
- Mengetahui dengan baik apa yang merusakkan maksud hadits yang diriwayatkannya secara makna.
Rawi menjadi baghan
yang dinilai untuk shahih tidaknya suatu hadits sehingga perowi
haruslah memiliki sifat-sifat khusus semisal: Bukan pendusta, Tidak
banyak salahnya, Tidak kurang ketelitiannya, Bukan fasiq, Bukan orang
yg banyak keraguan, Bukan ahli bid’ah
Dan juga seorang
perawi, benar–benar memiliki pengetahuan bahasa arab yang mendalam.
Diantaranya, perawi harus seorang ahli ilmu Nahwu, sharaf dan ilmu
bahasa, mengerti konotasi lapadz dan maksudnya, memahami
perbedaan–perbedaan dan mampu menyampaikan hadits dengan tepat.
Perawi dalam kondisi
terpaksa. Lupa susunan harfiahnya, sedangkan kandungan hadits
tersebut sangat diperlukan. Hal ini dianggap baik dari pada tidak
meriwayatkan suatu hadits, atau enggan meriwayatkan hadits dengan
alasan lupa lapadznya sementara nilai pokok (hukum) yang terkadung
dalam hadits tersebut sangat diperlukan ummat Islam.
Sifat-sifat hadits
yang diterima:
Sanadnya
harus muttasil (bersambung), artinya tiap-tiap perawi betul-betul
mendengar dari gurunya. Guru benar-benar mendengar dari gurunya, dan
gurunya benar-benar mendengar dari Rasulullah SAW.
Perawi
harus adil. Artinya, perawi tersebut tidak menjalankan kefasikan,
dosa-dosa, perbuatan dan perkataan yang hina. Perawi yang adil adalah
perawi yang muslim, baligh (dapat memahami perkataan dan menjawab
pertanyaan), berakal, terhindar dari sebab-sebab kefasikan dan
rusaknya kehormatan.
Betul-betul
hafal.
Tidak
bertentangan dengan perawi yang lebih baik dan lebih dapat dipercaya.
Tidak
berillat, yakni tidak memiliki sifat yang membuat haditsnya tidak
diterima.
2. Cara-cara menerima (tahammul) riwayat
2.2.1
Periwayatan anak-anak, orang kafir dan orang fasik
Dalam menerima
hadits tidak disyaratkan seorang harus muslim dan baligh. Inilah
pendapat yang benar. Namun ketika menyampaikannya, disyaratkan harus
Islam dan baligh. Maka diterima riwayat seorang muslim yang baligh
dari hadits yang diterimanya sebelum masuk Islam atau sebelum baligh,
dengan syarat tamyiz atau dapat membedakan (yang haq dan yang bathil)
sebelum baligh. Sebagian ulama memberikan batasan minimal berumur
lima tahun. Namun yang benar adalah cukup batasan tamyiz atau dapat
membedakan. Jika ia dapat memahami pembicaraan dan membdrikan jawaban
dan pendengaran yang benar, itulah tamyiz dan mumayyiz. Jika tidak,
maka haditsnya ditolak.
2.2.2
Macam-macam cara menerima riwayat
Cara untuk menerima
riwayat hadits ada delapan :
a.
As-Sama’min lafadhi Al-syaikhi atau mendengar lafadh syaikh (guru)
Yaitu mendengar
sendiri dari perkataan guru, baik secara didektekan maupun bukan,
baik dari hafalannya maupun tulisan, baik guru itu dihadapan tanpa
hijab, maupun pakai hijab/tabir.
Menurut jumhur
ulama, as-sama’min lafadhi Al-syaikhi merupakan bagian yang paling
tinggi dalam pengambilan hadits. Lafadh-lafadh yang digunakan dalam
as-sama’ yaitu :
اخبرنى ,
اخبرنا ialah
seseorang telah mengabarkan kepadaku / kami.
حدثنى ,
حدثنا ialah
seseorang telah bercerita kepadaku / kami.
سمعت ,
سمعنا ialah
saya / kami telah mendengar.
b.
Al-Qira’ah Alasy Syaikhi atau membaca kepada syaikh.
Disebut juga dengan
Aradh adalah membaca dengan hafalan. Karena si pembaca menyuguhkan
haditsnya kehadapan guru, baik membacanya sendiri maupun orang lain
yang membaca sedangkan dianya mendengarnya. Seorang perawi membaca
hadits kepada seorang syaikh, dan syaikh mendengarkan bacaannya untuk
meneliti, baik perawi yang membaca atau orang lain yang membaca
sedang syaikh mendengarkan, dan baik bacaan dari hafalan atau dari
buku, atau baik syaikh mengikuti pembaca dari hafalannya atau
memegang kitabnya sendiri atau memegang kitab orang lain yang tsiqah.
Mereka (para ulama)
berselisih pendapat tentang membaca kepada syaikh, apakah dia
setingkat dengan as-sama’, atau lebih rendah darinya. Yang benar
adalah lebih rendah dari as-sama’. Lafadh-lafadh yang digunakan
dalam al-qira’ah yaitu :
قرأت عليه ialah
aku membacakan dihadapannya (guru)
قرئ على فلان
وانا اسمع ialah
dibacakan oleh seseorang di hadapannya (guru) sedangkan aku
mendengarkannya.
حدثنا ,
اخبرنا قراءة
عليه ialah
telah mengabarkan, menceritakan padaku secara pembacaan dihadapannya
(guru).
Namun yang umum
menurut ahli hadits adalah dengan menggunakan lafadh akhbarana saja
tanpa tambahan yang lain.
c.
Al-Ijazah
Yaitu seorang Syaikh
mengijinkan muridnya meriwayatkan hadits, baik dengan ucapan atau
tulisan. Seorang syaikh mengatakan kepada salah seorang muridnya “Aku
ijinkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku demikian”. Ada beberapa
macam ijazah adalah sebagai berikut:
Syaikh
mengijazahkan sesuatu yang tertentu kepada seorang yang tertentu.
Misalnya dia berkata,“Aku ijazahkan kepadamu Shahih Bukhari”. Di
antara jenis-jenis ijazah, inilah yang paling tinggi derajatnya.
Syaikh
mengijazahkan orang yang tertentu dengan tanpa menentukan apa yang
diijazahkannya. Seperti mengatakan,“Aku ijazahkan kepadamu untuk
meriwayatkan semua riwayatku”.
Syaikh
mengijazahkan kepada siapa saja (tanpa menentukan) dengan juga tidak
menentukan apa yang diijazahkan, seperti mengatakan,“Aku ijazahkan
semua riwayatku kepada semua orang pada jamanku”.
Syaikh
mengijazahkan kepada orang yang tidak diketahui atau majhul. Seperti
dia mengatakan,“Aku ijazahkan kepada Muhammad bin Khalid
Ad-Dimasyqi”; sedangkan di situ terdapat sejumlah orang yang
mempunyai nama seperti itu.
Syaikh
memberikan ijazah kepada orang yang tidak hadir demi mengikutkan
mereka yang hadir dalam majelis. Umpamanya dia berkata,“Aku
ijazahkan riwayat ini kepada si fulan dan keturunannya”.
Bentuk pertama (a)
dari beberapa bentuk di atas adalah diperbolehkan menurut jumhur
ulama, dan ditetapkan sebagai sesuatu yang diamalkan. Dan inilah
pendapat yang benar. Sedangkan bentuk-bentuk yang lain, terjadi
banyak perselisihan di antara para ulama. Ada yang bathil lagi tidak
berguna.
Lafadh-lafadh yang
digunakan dalam ijazah adalah :
ajaza li
fulan (beliau telah memberikan ijazah kepada si fulan),
haddatsana
ijaazatan, akhbarana ijaazatan, dan anba-ana ijaazatan (beliau telah
memberitahukan kepada kami secara ijazah).
d.
Al-Munawalah atau menyerahkan.
Yaitu seorang guru
memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang sudah
dikoreksinya untuk diriwayatkan.
Al-Munawalah ada dua
macam :
1.
Al-Munawalah yang disertai dengan ijazah. Ini tingkatannya paling
tinggi di antara macam-macam ijazah secara muthlaq. Seperti jika
seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan
kepadannya,“Ini riwayatku dari si fulan, maka riwayatkanlah
dariku”. Kemudian buku tersebut dibiarkan bersamanya untuk dimiliki
atau dipinjamkan untuk disalin. Maka diperbolehkan meriwayatkan
dengan seperti ini, dan tingkatannya lebih rendah dari pada as-sama’
dan al-qira’ah.
Lafadh-lafadh
yang digunakan dalam oleh rawi dalam Al-Munawalah yang disertai
dengan ijazah yaitu :
انبأنى,
انبأنا ialah
seseorang telah memberitahukan kepadaku / kami.
2.
Al-Munawalah yang tidak diiringi ijazah. Seperti jika seorang syaikh
memberikan kitabnya kepada sang murid dengan hanya mengatakan : “Ini
adalah riwayatku”. Yang seperti ini tidak boleh diriwayatkan
berdasarkan pendapat yang shahih.
Lafadh-lafadh
yang digunakan dalam Al-Munawalah yang tidak diiringi ij`zah yaitu :
ناولنى,
ناولنا ialah
seseorang telah memberitakan kepadaku / kami.
e.
Mukatabah
Yaitu seorang guru
menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain menulis riwayatnya
kepada orang yang hadir di tempatnya atau yang tidak hadir di situ.
Mukatabah ada 2
macam yaitu sebagai berikut :
Mukatabah
yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan syaikh,“Aku
ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis untukmu”, atau yang semisal
dengannya. Dan riwayat dengan cara ini adalah shahih karena
kedudukannya sama kuat dengan munawalah yang disertai ijazah.
Mukatabah
yang tidak disertai dengan ijazah, seperti syaikh menulis sebagian
hadits untuk muridnya dan dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi
tidak diperbolehkan untuk meriwayatkannya. Di sini terdapat
perselisihan hukum meriwayatkannya. Sebagian tidak memperbolehkan,
dan sebagian yang lain memperbolehkannya jika diketahui bahwa tulisan
tersebut adalah karya syaikh itu sendiri.
Lafadh-lafadh yang
digunakan dalam mukatabah yaitu :
حدثنى فلان كتابة
ialah
seseorang telah bercerita kepadaku dengan surat-menyurat.
اخبرنى فلان
كتابة ialah
seseorang telah mengkhabarkan kepadaku dengan menulis surat.
كتب الي فلان
ialah
seseorang telah menulis kepadaku.
f.
Al-Wijdah (mendapat)
Yaitu seorang perawi
mendapat hadits atau kitab dengan tulisan seorang syaikh dan ia
mengenal syaikh itu, sedang hadits-haditsnya tidak pernah didengarkan
ataupun ditulis oleh si perawi. Wijadah ini termasuk hadits
munqathi’, karena si perawi tidak menerima sendiri dari orang yang
menulisnya.
Lafadh-lafadh yang
digunakan dalam al-wijdah yaitu :
قرأت بخط فلان
ialah
saya telah membaca khat seseorang.
وجدت بخط فلان
ialah
kudapati khat sdseorang.
حدثنا فلان
ialah
bercerita padaku sipulan.
g.
Al-Washiyyah (mewasiati)
Yaitu seorang syaikh
mewasiatkan di saat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan, sebuah
kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi. Riwayat yang seorang
terima dengan jalan wasiat ini boleh dipakai menurut sebagian ulama,
namun yang benar adalah tidak boleh dipakai.
Lafadh-lafadh yang
digunakan dalam al-washiyyah yaitu :
اوصى الى فلان
بكتاب قال فيه حدثنا ialah
seseorang telah berwasiat kepadaku dengan sebuah kitab yang dia
berkata dalam kitab itu, “telah bercerita kepadamu sifulan”.
h.
Al-I’lam (memberitahu)
Yaitu pemberitahuan
guru kepada muridnya bahwa hadits yang diriwayatkannya adalah
riwayatnya sendiri yang diterima dari seorang guru, dengan tidak
mengatakan / menyuruh agar simurid meriwayatkannya. Para ulama
berbeda pendapat tentang hukum meriwayatkan dengan cara al-I’lam.
Sebagian membolehkan dan sebagian yang lain tidak membolehkannya.
Lafadh-lafadh yang
digunakan dalam al-I’lam yaitu :
اعلمنى فلان قال
حدثنا ialah
seseorang telah memberitahukan kepadaku, ujarnya, telah berkata
kepadaku.
2.3
Cara-cara menyampaikan (ada’) riwayat
2.3.1
Lafadz-lafadz untuk menyampaikan hadits
Dapat dikelompokkan
menjadi :
Pertama
Lafadz meriwayatkan
hadits bagi para perawi yang mendengar langsung dari gurunya. Lafadz
ini tersusun sebagai berikut :
a.
سمعنا ,
سمعت
adalah
saya / kami telah mendengar.
Lafadz ini
menjadikan nilai hadits yang diriwayatkan tinggi martabatnya,
lantaran rawi-rawinya pada mendengar sendiri, baik berhadapan muka
dengan guru tanpa hijab atau berhadapan denfan guru memakai hijab.
b.
حدثنا ,
حدثنى
adalah
seseorang telah bercerita kepadaku / kami.
Lafadz hadits ini
oleh jumhur ulama kadang-kadang dirumuskan dengan : دثنا
, نا
,
ثنا ,
دثنى ,
نى ,
ثنى
c.
اخبرنا ,
اخبرنى
adalah
telah mengkhabarkan padaku / kami.
Lafadz ini oleh para
muhaditsin dirumuskan dengan :
Menurut Asy-Syafi’i
dan ulama-ulama timur, memberikan lafadz حدثنا
(
untuk rawi yang mendngar langsung dari guru ), dengan اخبرنا
(
untuk rawi yang membaca atau menghafal hadits dihadapan guru, lalu
guru mengiakan.
d.
نبأنا ,
انبأنا
adalah
seseorang memberitahukan kepadaku / kami.
Lafadz
ini sedikit sekali pemakaiannya.
e.
قال لنافلان
,
قال لى
فلان adalah
seseorang telah berkata padaku / kami.
f.
ذكرلنافلان
,
ذكرلى
فلان adalah
seseorang telah menuturkan padaku / kami.
Disamping
lafadz-lafadz di atas, terkadang menjumpai rumus atau lafadz sebagai
berikut :
قثنا berarti
قال حدثنا
قثنى berarti
قال حدثنى
Kedua
Lafadz riwayat bagi
rawi yang mungkin mendengar sendiri atau tidak mendengar sendiri :
روى (diriwayatkan
oleh), حكى
(dihikayatkan
oleh), عن (dari),
أن (bahwasanya).
Lafadz ini sulit untuk menyakininya, kecuali ada qarinah yang lain
untuk menguatkan sabda Nabi.
2.3.2
Macam-macam cara meriwayatkan hadits (Al-Ada’)
a)
Riwayatul Aqran
Apabila seorang rawi
meriwayatkan sebuah hadits dari kawan-kawannya yang sebaya umurnya,
atau yang seperguruan, yakni sama-sama belajar dari seorang guru,
maka periwayatan ini disebut riwayatul Aqran.
Faedah mengetahui
riwayat ini adalah agar jangan dikira bahwa pada hadits tersebut
terdapat kelebihan sanad.
b)
Riwayatul Mudabbaj
Apabila
masing-masing mereka yang seteman tersebut, saling meriwayatkan maka
periwayatkan yang sedemikian itu disebut riwayatul mudabbaj.
Riwayatul mudabbaj lebih khusus dari riwayatul Aqran sebab setiap
riwayatul mudabbaj termasuk riwayatul Aqran, tetapi tidak
setiap riwayatul Aqran termasuk riwayatul mudabbaj.
Faedahnya adalah
untuk menghindari adanya sangkaan, bahwa penyebutan dua orang rawi
yang sekawan tersebut adalah karena silap.
c)
Riwayatul Akabbir ‘Ani’l ash-shaghir
Adalah periwayatan
hadits seorang rawi yang lebih tua usianya atau lebih banyak ilmunya
dari rawi yang lebih rendah usianya atau lebih sedikit ilmunya yang
diperoleh dari seorang guru.
Faedahnya adalah
untuk menghindari persangkaan bahwa pada sanadnya terjadi
pemutarbalikan rawi dan untuk menjauhkan persangkaan kebanyakan
orang, bahwa sang guru itu lebih pintar daripada muridnya. Padahal
tidak tentu demikian.
d)
Riwayatul Shahabah ‘anit Tabi’in anish-shahabah
Adalah periwayatan
seorang sahabat yang diterima dari seorang tabi’in, sedangkan
tabi’in ini menerima dari seorang sahabat pula.
e)
Riwayatul Sabiq dan Lahiq
Apabila dua rawi
yang pernah bersama-sama menerima hadits dari seorang guru, kemudian
salah seorang daripadanya meninggal dunia, maka riwayat yang
disampaikan oleh rawi yang meninggal mendahului kawannya itu disebut
dengan riwayatul Sabiq. Sedangkan riwayat yang disampaikan oleh orang
yang terakhir meninggalnya disebut riwayatul lahiq.
Faedahnya adalah
untuk menghindari persangkaan, bahwa ada rawi yang dibuang atau untuk
mengetahui ketinggian sanad suatu hadits.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Jalan menerima
hadits (thuruq at-tahammul) adalah cara-cara menerima hadits dan
mengambilnya dari Syaikh. Dalam
menerima hadits tidak disyaratkan seorang harus muslim dan baligh.
Namun ketika menyampaikannya, disyaratkan harus Islam dan baligh.
Maka diterima riwayat seorang muslim yang baligh dari hadits yang
diterimanya sebelum masuk Islam atau sebelum baligh, dengan syarat
tamyiz atau dapat membedakan (yang haq dan yang bathil) sebelum
baligh. Sebagian ulama memberikan batasan minimal berumur lima tahun.
Namun yang benar adalah cukup batasan tamyiz atau dapat membedakan.
Jika ia dapat memahami pembicaraan dan memberikan jawaban dan
pendengaran yang benar, itulah tamyiz dan mumayyiz. Jika tidak, maka
haditsnya ditolak.
Metode
mempelajari/menerima Hadis yang dipakai oleh para ulama adalah:
- As-Sima’, yaitu guru membaca hadis didepan para muridnya. Bentuknya bisa membaca hafalan, membaca dari kitab, tanyajawab dan dikte.
- Al-‘ardlu, yaitu seorang murid membaca hadis di depan guru. Dalam metode ini seorang guru dapat mengoreksi hadis yang dbaca oleh muridnya. Istilah yang dipakai adalah akhbarana.
- Al-Ijazah, yaitu pemberian ijin seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan buku hadis tanpa membaca hadis tersebut satu demi satu. Istilah yang dipakai adalah an-ba-ana.
- Al-Munawalah, yaitu seorang guru memberi sebuah atau beberapa hadis tanpa menyuruh untuk meriwayatkannya. Istilah yang dipakai adalah an-ba-ana.
- Al-Kitabah, yaitu seorang guru menulis hadis untuk seseorang, hal ini mirip dengan metode ijazah.
- I’lam as-Syaikh, yaitu pemberian informasi guru kepada murid bahwa hadis dalam kitab tertentu adalah hasil periwayatan yang diproleh dari seseorang tanpa menyebut namanya.
- Al-Washiyah, yaitu guru mewasiatkan buku-buku hadis kepada muridnya sebelum meninggal.
- Al-Wijadah, yaitu seseorang yang menemukan catatan hadis seseorang tanpa ada rekomendasi untuk meriwayatkannya.
0 komentar:
Posting Komentar