ILMU
MUKHTALIFUL HADITS
A.
PENGERTIAN
Muhammad ‘Ajjaj
al-Khathib mendefiniskan Ilmu
Mukhtaliful Hadits wa Musyakilihi sebagai:
الْعِلْمُ الَّذِيْ
يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ
ظَاهِرُهَا مُتَعَارِضٌ فَيُزِيْلُ
تَعَارُضَهَا أَوْ يُوَفِّقُ بَيْنَهَا
كَمَا يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ
الَّتِيْ يَشْكُلُ فَهْمُهَا أَوْ
تَصَوُّرُهَا فَيَدْفَعُ أَشْكَالَهَا
وَيُوَضِّحُ حَقِيْقَتَهَا
Ilmu yang
membahas hadits-hadits yang tampaknya saling bertentangan, lalu
menghilangkan pertentangan itu, atau mengkompromikannya, di samping
membahas hadits yang sulit dipahami atau dimengerti, lalu
menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya.[1]
Dari pengertian di
atas dapat dipahami bahwa dengan menggunakan Ilmu
Mukhtaliful Hadits, maka
hadits-hadits yang tampaknya bertentangan dapat diatasi dengan
menghilangkan pertentangan itu sendiri. Begitu juga dengan
kemusykilan yang terlihat dalam suatu hadits dapat dihilangkan dan
ditemukan hakikat dari kandungan hadits tersebut.
Definisi lain
menyebutkan sebagai berikut:
علم يبحث عن الأحاديث
التى ظاهرها التناقض من حيث امكان الجمع
بينها اما بتقييد مطلقها أو بتخصيص عامها
أو حملها على تعدد الحادثة أوغير ذلك.
“Ilmu yang
membahas tentang hadits-hadits yang menurut lahirnya saling
bertentangan karena aanya kemungkinan dapat dikompromikan baik dengan
cara mentataqyid terhadap hadits yang mutlak atau mentakhsis terhadap
yang umum atau dengan cara membawanya pada beberapa kejadian yang
relevan dengan hadits, dan lain-lain”[2]
Sasaran
ilmu ini mengarah pada hadits- hadits yang saling
berlawanan untuk dikompromikan kandungannya dengan
jalan membatasi (Taqyid)
kemutlakannya dan seterusnya. Ilmu ini tidak akan muncul
kecuali dari orang yang menguasai hadits dan fiqih.[3]
Disebutkan bahwa Imam Syafi`i (w. 204 H) adalah ulama yang
mempelopori munculnya disiplin Ilmu
Mukhtaliful Hadits.
Hal ini terlihat dalam karya besarnya “al-Umm”,
meskipun beliau tidak secara khusus mengarang kitab mukhtalaf
al-hadits tetapi
didalam kitab al-Umm beliau
mencantumkan pembahasan khusus tentang mukhtalaf
al-hadits.
Sebagian ulama’ memahami ilmu ini dengan ilmu Musykilul
Hadits, ada
juga yang menamai dengan ilmu Ta’wilul
Hadits, dan
sebagian yang lain menamainya dengan ilmu Talfiqul
Hadits.
Yang menjadi objek
ilmu ini adalah hadits-hadits yang saling berlawanan itu, untuk
dikompromikan kandungannya baik dengan jalan membatasi (taqyid)
kemutlakannya maupun dengan mengkhususkan (takhsis)
keumumannya dan lain sebagainya, atau hadits-hadits yang musykil,
untuk
dita’wilkan, hingga hilang kemusykilannya, walaupun hadits-hadits
musykil
ini tidak saling berlawanan.[4]
- B. SEPUTAR HADITS MUKHTALIF DAN HADITS MUSYKIL
Dalam penjelasan
mengenai ilmu ini, nantinya akan berkaitan dengan
hadits-hadits mukhtalif,
atau bisa disebut sebagai objek kajian daripada disiplin ilmu ini.
Oleh karenanya perlu adanya penjelasan tentang
hadits mukhtalif tersebut.
Hadits mukhtalif adalah
hadits–hadits yang mengalami pertentangan satu sama lain. Namun
boleh jadi diantara pertentangan itu hanya terdapat pada dhohirnya
saja, dan ketika ditelusuri sebenarnya masih memungkinkan untuk
dikompromikan. Sementara menurut Nuruddin ‘Itr,
hadits-hadits mukhtalif ialah
hadits-hadits yang secara lahiriah bertentangan dengan kaidah-kaidah
yang baku, sehingga mengesankan makna yang batil atau bertentangan
dengan nash-nash syara’ yang lain.[5] Atau
lebih jelasnya tentang mukhtalif ini adalah
adanya pertentangan dengan Al-Quran, akal, sejarah, atau ilmu
pengtahuan dan sains modern. Dan yang termasuk dalam pengertian
hadits mukhtalif adalah
hadits-hadits yang sulit dipahami (Musykil ).[6]
Dr. Abu al-Layth
mendefinisikan hadits musykil
sebagai hadits maqbul
(sahih dan hasan) yang tersembunyi maksudnya kerana adanya sebab dan
hanya diketahui setelah merenung maknanya atau dengan adanya dalil
yang lain. Dinamakan musykil
kerana maknanya yang tidak jelas dan sukar difahami oleh orang yang
bukan ahlinya.
Ibn Furak (w. 406
H.) dalam kitabnya yang berjudul Musykil
al-Hadits wa Bayanuh,
berpendapat bahwa hadits musykil adalah
hadits yang tidak dapat dengan jelas dipahami tanpa menyertakan
penjelasan lain, seperti hadits-hadits yang kandungannya berisi
tentang hal-hal yang berkaitan dengan dzat Allah, sifat-sifat maupun
perbuatan-Nya yang menurut akal tidak layak dikenakan penisbatannya
kepada-Nya kecuali setelah dilakukan ta’wil terhadap hadits-hadits
tersebut.
- C. SEBAB–SEBAB HADITS MUKHTALIF
- Faktor Internal Hadits (Al ‘Amil Al Dakhily)
Yaitu berkaitan
dengan internal dari redaksi hadits tersebut. Bisaanya
terdapat ‘illat
(cacat)
didalam hadits tersebut yang nantinya kedudukan hadits tersebut
menjadi dha’if. Dan
secara otomatis hadits tersebut ditolak ketika hadits tersebut
berlawanan dengan hadits shohih.
- Faktor Eksternal (al’ Amil al Kharijy)
Yaitu faktor yang
disebabkan oleh konteks penyampaian dari Nabi, yang mana menjadi
ruang lingkup dalam hal ini adalah waktu, dan tempat dimana Nabi
menyampaikan haditsnya.
- Faktor Metodologi (al Budu’ al Manhajy)
Yakni berkitan
dengan cara bagaimana cara dan proses seseorang memahami hadits
tersebut. Ada sebagian dari hadits yang dipahami secara
tekstualis dan belum secara kontekstual yaitu dengan kadar keilmuan
dan kecenderungan yang dimiliki oleh seorang yang memahami hadits,
sehingga memunculkn hadits-hadits yang mukhtalif.
- Faktor Ideologi
Yakni berkaitan
dengan ideology suatu madzhab dalam memahami suatu hadits, sehingga
memungkinkan terjadinya perbedaan dengan berbagai aliran yang sedang
berkembang.[7]
- D. METODE PENYELESAIAN HADITS MUKHTALIF
Untuk mengawali
pembahasan tentang metode atau cara menyelesaikan hadîts
mukhtalif, sengaja
dikutip pernyataan Imam al-Syafi’iy sebagai peringatan yang tegas
dalam memahami hadits-hadits
mukhtalif, yaitu:
لا تجعل عن رسول الله
حديثين مختلفين أبدا إذا وجد السبيل إلى
أن يكونا مستعملين,
فلا نعطل
منهما واحدا لأن علينا في كل ما علينا في
صاحبه,
ولا نجعل
المختلف إلا فيما يجوز أن يستعمل أبدا
ألا بطرح صاحبه[8]
“Jangan
mempertentangkan hadits Rasulullah satu dengan yang lainnya,
apabila mungkin ditemukan jalan untuk menjadikan hadits - hadits
tersebut dapat sama-sama diamalkan. Jangan tinggalkan salah satu
antara keduanya karena kita punya kewajiban untuk mengamalkan
keduanya. Dan jangan jadikan hadits - hadits bertentangan
kecuali tidak mungkin untuk diamalkan selaian harus meninggalkan
salah satu darinya.”
Peringatan ini
disampaikan berdasarkan suatu prinsip bahwa tidak mungkin Rasulullah
menyampaikan ajaran Islam yang antara satu dengan yang lainnya
benar-benar saling bertentangan. Jika ada penilaian yang menyatakan
bahwa satu hadits dengan hadits lainnya saling
bertantangan, maka dalam hal ini ada dua kemungkinan. Kemungkinan
pertama,
salah satu
dari hadits tersebut bukanlah hadits maqbûl, melainkan hadits mardûd, baik dha’îf maupun mawdhû’, besar
kemungkinan bertentangan dengan hadits
shahîh atau hasan. Kedua,
karena pemahaman yang keliru terhadap maksud yang dituju
oleh hadits-hadits tersebut.[9]
Karena bisa saja masing-masing hadits tersebut memiliki
maksud dan orientasi yang berbeda sehingga keduanya dapat diamalkan
menurut maksud masing-masing.
Berdasrkan hasil
penelitian Edi Safri mengenai metode penyelesaian hadits-hadits
mukhtalif menurut
Imam al-Syafi’iy, ada tiga cara yang mesti dilakukan yakni
penyelesaian dengan cara kompromi, penyelesaian dengan
cara nasakh dan
penyelesaian dengan cara tarjîh.
Di mana ketiga cara tersebut dilakukan dengan berurutan. Artinya jika
cara pertama tidak menemukan jalan keluar, maka ditempuh cara kedua,
jika cara kedua belum juga diperoleh solusi, maka ditempuh cara
ketiga. Berikut penjelasan lebih lanjut:
- Metode al-Jam’u (penggabungan atau pengkompromian)
Adapun yang dimaksud
dengan metode kompromi dalam menyelesaikan Hadîts
mukhtalif ialah
menghilangkan pertentangan yang tampak (makna lahiriyahnya) dengan
cara menelusuri titik temu kandungan makna masing-masingnya sehingga
maksud sebenarnya yang dituju oleh satu dengan yang lainnya dapat
dikompromikan. Artinya, mencari pemahaman yang tepat yang menunjukkan
kesejalanan dan keterkaitan makna sehingga masing-masingnya dapat
diamalkan sesuai dengan tuntutannya.Metode al-jam’u
ini
tidak berlaku bagi hadits–hadits dlaif
( lemah ) yang bertentangan dengan hadits–hadits yang shahih. Untuk
menemukan benang merah antara kedua Hadîts yang
saling bertentangan itu, dapat diselesaikan dengan empat cara, yaitu:
a)
Menggunakan Pendekatan Kaedah Ushûl
Penyelesaian
berdasarkan pemahaman dengan menggunakan pendekatan kaedah ushul
ialah memahami Hadîts Rasulullah
dengan memperhatikan dan mempedomani ketentuan-ketentuan atau
kaedah-kaedah ushul yang terkait yang telah dirumuskan oleh
ulama (ushûliyûn). Adapun
yang menjadi objek kajian ilmu ushûl
fiqh ialah
bagaimana meng-istimbâth-kan
hukum dari dalil-dalil syara’, baik al-Qur’ân
maupun Hadîts. Untuk
sampai pada hukum-hukum yang dimaksud, maka terlebih dahulu
dalil-dalil tersebut dipahami agar istimbâth hukum
sesuai dengan yang dituju oleh dalil. Di antara kaedah ushûl
yang terkait seperti âm,
khash, muthlaq, dan
muqayyad.
Nash yang umum haruslah dipahami dengan keumumannya selama tidak ada
nash lain yang men-takhsishkan-nya,
apabila ada dalil yang men-thakhsish-kannya
maka nash tersebut tidak lagi diberlakukan secara umum. Demikian juga
bagi nash yang muthlaq dengan
yang muqayyad.[10]
Sebagai
contoh Hadîts tentang
mengambil upah dari jasa berbekam:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ بَشَّارٍ عَنْ مُحَمَّدٍ قَالَ
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ الْمُغِيرَةِ
قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ أَبِي نُعْمٍ قَالَ
سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ نَهَى
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنْ كَسْبِ الْحَجَّامِ
وَعَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَعَنْ عَسْبِ
الْفَحْلِ
Hadîts ini
melarang mengambil upah dari jasa berbekam, kemudian hadis lain
menyebutkan:
حَدَّثَنَا يَحْيَى
بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ
وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا
إِسْمَعِيلُ يَعْنُونَ ابْنَ جَعْفَرٍ
عَنْ حُمَيْدٍ قَالَ سُئِلَ أَنَسُ بْنُ
مَالِكٍ عَنْ كَسْبِ الْحَجَّامِ فَقَالَ
احْتَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَجَمَهُ أَبُو
طَيْبَةَ فَأَمَرَ لَهُ بِصَاعَيْنِ
مِنْ طَعَامٍ وَكَلَّمَ أَهْلَهُ
فَوَضَعُوا عَنْهُ مِنْ خَرَاجِهِ وَقَالَ
إِنَّ أَفْضَلَ مَا تَدَاوَيْتُمْ بِهِ
الْحِجَامَةُ أَوْ هُوَ مِنْ أَمْثَلِ
دَوَائِكُمْ ِ
Hadîts ini
menunjukkan bahwa bahwa Rasulullah pernah berbekam yang dilakukan
oleh Abu Thaibah kemudian ia diberi upah oleh Rasulullah. Hadîts
pertama
dikeluarkan oleh al-Nasâ’iy, Hadîts kedua
dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab yang sama. Di lihat dari
sisi redaksi antara pertama dan kedua nampak saling bertentangan.
Hadîts pertama
menjelaskan adanya larangan mengambil keuntungan dari berbekam yang
sekaligus menunjukkan bahwa perbuatan tersebut haram. Para ulama
mencoba memahami pertenatangan tersebut dengan menggunakan
pendekatan muthlaq dan muqyyad.
Haramnya kasb
al-hajâm merupakan
suatu yang muthlaq, kemudian
dibatasi oleh adanya qârinah untuk
mengambil manfaat dari orang lain karena Rasullullah
melakukannya.[11] Adanya qarinah menjadikan kasb
al-hâjam tidak
lagi haram akan tetapi makruh.
b)
Pemahaman Kontekstual
Pemahaman
kontekstual yang dimaksud di sini ialah
memahami Hadîts- Hadîts Rasulullah
dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa
atau situasi yang menjadi latarbelakang disampaikannya Hadîts,
dengan memperhatikan asbâb
al-wurud Hadîts-Hadîts tersebut.
Dalam kata lain dengan memperhatikan konteks.
Jika asbab
al-wurud al-Hadîts tidak
diperhatikan, maka akan terjadi kekeliruan dalam memahmi maksud yang
dituju suatu Hadîts sehingga
hal ini menimbulkan penilaian yang bertentangan antara
satu Hadîts dengan
yang lainnya. Oleh sebab itu mengetahui konteks Hadîts menjadi
hal yang sangat urgen dalam pemahaman Hadîts. Jika
konteks suatu Hadîts diikutsertakan
dalam memahmi Hadîts-Hadîts
mukhtalif,
akan terlihat perbedaan konteks antara satu dengan yang lainnya
sehingga pertentangan yang tampak secara lahiriyah dapat dilenyapkan
dan masing-masing Hadîts dapat
diketahui arah pemahamannya.
Sebagai contoh
diambil Hadîts tentang
meminang wanita yang telah dipinang orang lain.
و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ
بْنُ حَرْبٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى
جَمِيعًا عَنْ يَحْيَى الْقَطَّانِ قَالَ
زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ
عُبَيْدِ اللَّهِ أَخْبَرَنِي نَافِعٌ
عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا
يَبِعْ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ
وَلَا يَخْطُبْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ
إِلَّا أَنْ يَأْذَنَ لَهُ.
Hadis lain yang
diapandang bertentangan ialah:
حَدَّثَنَا يَحْيَى
بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى
مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ
مَوْلَى الْأَسْوَدِ بْنِ سُفْيَانَ
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ
قَيْسٍ أَنَّ أَبَا عَمْرِو بْنَ حَفْصٍ
طَلَّقَهَا الْبَتَّةَ وَهُوَ غَائِبٌ
فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا وَكِيلُهُ بِشَعِيرٍ
فَسَخِطَتْهُ فَقَالَ وَاللَّهِ مَا
لَكِ عَلَيْنَا مِنْ شَيْءٍ فَجَاءَتْ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ
لَيْسَ لَكِ عَلَيْهِ نَفَقَةٌ فَأَمَرَهَا
أَنْ تَعْتَدَّ فِي بَيْتِ أُمِّ شَرِيكٍ
ثُمَّ قَالَ تِلْكِ امْرَأَةٌ يَغْشَاهَا
أَصْحَابِي اعْتَدِّي عِنْدَ ابْنِ أُمِّ
مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى
تَضَعِينَ ثِيَابَكِ فَإِذَا حَلَلْتِ
فَآذِنِينِي قَالَتْ فَلَمَّا حَلَلْتُ
ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ
أَبِي سُفْيَانَ وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِي
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا أَبُو جَهْمٍ
فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ
وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا
مَالَ لَهُ انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ
زَيْدٍ فَكَرِهْتُهُ ثُمَّ قَالَ انْكِحِي
أُسَامَةَ فَنَكَحْتُهُ فَجَعَلَ اللَّهُ
فِيهِ خَيْرًا وَاغْتَبَطْتُ
Dalam Hadîts pertama
Rasulullah melarang meminang seseorang yang telah dipinang oleh orang
lain. Namun dalam Hadîts kedua
justru Rasulullah sendiri yang meminang Fatimah Bint Qais untuk
Usamah Ibn Zaid, yang sebelumnya telah dipinang oleh Mu’âwiyah dan
Abu Jahm. Mengapa hal ini terjadi, apakah Rasulullah tidak konsisten
dengan pernyataannya? Tentu pertanyaan seperti ini yang akan muncul
ketika tidak dilihat konteks kedua Hadîts tersebut.
Imam al-Syafi’iy
berpendapat bahwa Hadîts pertama
tidak bertentangan dengan Hadîts kedua
karena Hadîts pertama
berlaku pada kondisi dan situasi tertentu; tidak berlaku pada situasi
dan kondisi lainnya.[12]
Adapun yang menjadi latar belakang dituturkannya Hadîts pertama
ialah: Rasulullah ditanya tentang seseorang yang meminang perempuan
dan pinangannya diterima untuk selanjutanya diteruskan kejenjang
perkawinan. Akan tetapi datang lagi pinangan dari laki-laki lain yang
ternyata lebih menarik hati perempuan tersebut, dibanding laki-laki
pertama sehingga ia pun membatalkan pinangan pertama. Inilah yang
menjadi konteks Hadîtspertama.
Sementara Hadîts kedua, berbeda konteksnya dengan Hadîts pertama.
Fatimah bint Qais datang kepada Nabi seraya memberitahukan bahwa ia
telah dipinang oleh Mu’âwiyah dan Abu Jahm. Rasulullah tidak
menyanggah pernyataan ini – sesuai dengan Hadîts pertama
– karena Rasulullah tahu bahwa Fatimah sendiri tidak suka dan belum
menerima kedua pinangan itu, sebab Fatimah datang kepada Rasulullah
untuk meminta pertimbangan. Lalu Rasulullah memberikan solusi dengan
miminangkannya untuk Usamah. Hal ini menggambarkan bahwa
konteks Hadîts pertama berbeda dengan konteks Hadîts kedua, Hadîts pertama
kondisi di mana seorang perempuan dengan persetujuan walinya telah
menerima pinangan dari seorang laki-laki, maka ia tidak boleh lagi
menerima pinangan lelaki lainnya. Sementara Hadîts kedua
kondisi di mana seorang laki-laki baru sebatas mengajukan proposal
pinangan, belum ada kepastian diterima atau ditolak, maka dalam
kondisi seperti ini seorang perempuan boleh menolak pinangan tersebut
dan menerima pinangan yang disukainya.
c)
Pemahaman Korelatif
Pemahaman korelatif
yang dimaksud ialah memperhatikan keterkaitan makna antara
satu Hadîts dengan Hadîts lainnya
yang dipandang mukhtalif yang
membahas permasalahan yang sama sehingga pertentangan yang nampak
secara lahiriyahnya dapat dihilangkan. Karena dalam
menjelaskan satu persoalan tidak hanya ada satu atau dua Hadîts saja
akan tetapi bisa saja ada bebarapa Hadîts yang
saling terkait satu sama lainnya. Oleh karena itu
semua Hadîts tersebut
mesti dipahami secara bersama untuk dilihat hubungan makna antara
satu Hadîts dengan Hadîts lainnya
sehingga diperoleh gambaran yang utuh tentang satu masalah tersebut
dan pertentangan yang terjadi dapat diselesaikan.
حَدَّثَنَا حَفْصُ
بْنُ عُمَرَ قَالَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ
عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ شَهِدَ عِنْدِي
رِجَالٌ مَرْضِيُّونَ وَأَرْضَاهُمْ
عِنْدِي عُمَرُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ
الصَّلَاةِ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى
تَشْرُقَ الشَّمْسُ وَبَعْدَ الْعَصْرِ
حَتَّى تَغْرُبَ
Dalam hadits lain
dinyatakan
حَدَّثَنَا أَبُو
نُعَيْمٍ وَمُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ
قَالَا حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
مَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا
ذَكَرَهَا لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا
ذَلِكَ وَأَقِمْ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
قَالَ مُوسَى قَالَ هَمَّامٌ سَمِعْتُهُ
يَقُولُ بَعْدُ وَأَقِمْ الصَّلَاةَ
للذِّكْرَى
Dua Hadîts di
atas sama-sama diriwaytkan oleh Imam al-Bukhâriy dalam
kitab shahîh-nya. Hadîts pertama
menegaskan larangan menunaikan shalat di waku setelah subuh hingga
terbit matahari dan waktu setelah ashar hingga terbenamnya matahari.
Sementara Hadîts kedua
tidak dibatasi oleh waktu, di mana seseorang dapat melakukan shalat
kapan saja apabila ia lupa menunaikan kewajibannya, baik watu setelah
subuh hingga terbit matahari maupun waktu setelah asharhingga
terbenam matahari.
Dua Hadîts di
atas dipandang yang bertentangan. Keduanya tidak bisa dipertemukan
begitu saja, sebelum dilihat riwayat lainnya yang dipandang relevan
untuk menarik benang merah pertentangan antara keduanya. Karena
shalat yang dimaksudkan oleh Hadîts pertama
adalah shalat sunnat, sementara Hadîts kedua
merupakan shalat wajib yang tidak dapat tidak mesti dikerjakan, dan
jika lupa maka merupakan rukhshah melaksanakannya pada waktu ingat.
d)
Menggunakan Cara Ta’wîl
Takwil berarti
memalingkan lafadz dari makna lahiriyahnya kepada makna lain yang
dikandung oleh lafadz karena adanya qarinah yang menghendakinya. Hal
ini dikukan makna lahiriyah yang ditampilkan oleh
lafadz Hadîts dinilai
tidak tepat untuk menjelaskan makna yang ditujunya, dengan mengambil
kemungkinan makna lain yang lebih tepat di antara kemungkinan makna
yang dikandung oleh lafadz. Pemalingan ini dilakukan kerana adanya
dalil yang menghendakinya. Oleh al-Syafi’iy metode takwil dipandang
dapat digunakan untuk menghilangkan pertenatangan antara
satu Hadîts dengan Hadîts lainnya.Contoh:
ü
أَخْبَرَنَا
عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ
حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ ابْنِ عَجْلَانَ
قَالَ حَدَّثَنِي عَاصِمُ بْنُ عُمَرَ
بْنِ قَتَادَةَ عَنْ مَحْمُودِ بْنِ
لَبِيدٍ عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ أَسْفِرُوا بِالْفَجْرِ
ü
و حَدَّثَنَا
نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ
وَإِسْحَقُ بْنُ مُوسَى الْأَنْصَارِيُّ
قَالَا حَدَّثَنَا مَعْنٌ عَنْ مَالِكٍ
عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ عَمْرَةَ
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ إِنْ كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لَيُصَلِّي الصُّبْحَ
فَيَنْصَرِفُ النِّسَاءُ مُتَلَفِّعَاتٍ
بِمُرُوطِهِنَّ مَا يُعْرَفْنَ مِنْ
الْغَلَسِ و قَالَ الْأَنْصَارِيُّ فِي
رِوَايَتِهِ مُتَلَفِّفَاتٍ
Hadîts petama
pada contoh di atas menggambarkan bahwa waktu yang lebi afdhal untuk
melaksanakan shalat subuh ialah waktu asfar, yakni
waktu subuh sudah mulai terang. Sedangkan Hadîts kedua
menjelaskan bahwa waktu yang afdhal untuk melaksanakan shalat subuh
ia ghalas,
yakni
susana gelap diujung malam dan datangnya cahaya subuh.
Kedua Hadîts di
atas menampilkan pertenatangan antara satu dengan lainnya, di
mana Hadîts pertama
di akhir waktu dan Hadîts
kedua
di awal waktu.
Dalam masalah ini
Imam al-Syafi’iy justru tidak melihat pertentanagn antara
kedua Hadîts di
atas. Imam syafi’iy men-takwil-kan
kata isfâr pada Hadîts
pertama.
Di mana isfâr yang
semulanya dimaknai dengan “waktu subuh yang sudah mulai terang
mendekati matahari terbit” di-takwil-kan
dengan makna “awal waktu subuh yang ditandai dengan terbitnya
cahaya fajar yang tampak di langit. Dalam kata lain,
makna isfâr pada Hadîts pertama
di-takwil-kan
dengan makna ghalas pada Hadîts kedua.
Hal ini dilakukan karena Hadîts kedua
dipandang memiliki nilai lebih dibanding Hadîts kedua
untuk dijadikan sebagaihujjah.
- Metode Nasikh Mansukh
Jika ternyata hadits
tersebut tidak mungkin ditarjih, maka para ulama menempuh metode
naskh-mansukh
(pembatalan). Maka akan dicari makna hadits yang lebih datang dulu
dan makna hadits yang datang belakangan. Otomatis yang datang lebih
awal dinaskh dengan yang datang belakangan.
Secara bahasa naskh
bisa berarti menghilangkan (al–izalah),
bisa pula berarti al-naql
(memindahkan).
Sedangkan secara istilah naskh
berarti penghapusan yang dilakukan oleh syari’ (pembuat syariat;
yakni Allah dan Rasulullah) terhadap ketentuan hukum syariat yang
datang lebih dahulu dengan dalil syar’i yang datang belakangan.
Dengan definisi tersebut, berarti bahwa hadits-hadits yang sifatnya
hanya sebagai penjelasnya (bayan) dari hadits yang bersifat global
atau hadits-hadits yang memberikan ketentuan khusus (takhsish)
dari hal-hal yang sifatnya umum, tidak dapat dikatakan sebagai hadits
nasikh
(yang menghapus).
Namun perlu diingat
bahwa proses naskh
dalam hadits hanya terjadi disaat Nabi Muhammad SAW. masih hidup.
Sebab yang berhak menghapus ketentuan hukum syara’, sesungguhnya
hanyalah syari’, yakni Allah dan Rasulullah. Naskh
hanya terjadi ketika pembentukan syari’at sedang berproses.
Artinya, tidak akan terjadi setelah ada ketentuan hukum yang tetap
(ba’da istiqroril hukmi).
Salah satu contoh
dua hadits yang saling bertentangan dan bisa diselesaikan dengan
metode naskh-mansukh
adalah hadits tentang hukum makan daging kuda:
ü
أَخْبَرَنَا
كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ قَالَ حَدَّثَنَا
بَقِيَّةُ عَنْ ثَوْرِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ
صَالِحِ بْنِ يَحْيَى بْنِ الْمِقْدَامِ
بْنِ مَعْدِي كَرِبَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ
جَدِّهِ عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ أَكْلِ
لُحُومِ الْخَيْلِ وَالْبِغَالِ
وَالْحَمِيرِ وَكُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ
السِّبَاعِ
ü
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ وَنَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ قَالَا
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ
دِينَارٍ عَنْ جَابِرٍ قَالَ أَطْعَمَنَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لُحُومَ الْخَيْلِ وَنَهَانَا
عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ.
Dua hadits di
atas terlihat saling bertantangan, hadits pertama bersisi
tentang larangan makan daging kuda yang sekaligus menjadikan ia
haram. Hadits kedua menunjukkan kebolahan memakan daging kuda.
Pertenatangan ini mesti dihilangkan dengan cara nasakh.
Hukum
keharaman makan daging kuda pada hadits pertama telah
di-nasakh-kan
oleh hukum kobolehan makan daging kuda pada hadits Jâbir Ibn
Abdallah yang datang setelahnya.[14]
- Metode Tarjih
Metode ini dilakukan
setelah upaya kompromi tidak memungkinkan lagi. Maka seorang peneliti
perlu memilih dan mengunggulkan mana diantara hadits-hadits yang
tampak bertentangan yang kualitasnya lebih baik. Sehingga hadits yang
lebih berkualitas itulah yang dijadikan dalil.
Harus diakui bahwa
ada beberapa matan hadits yang saling bertentangan. Bahkan ada juga
yang benar-benar bertentangan dengan Al-Quran. Antara lain adalah
hadits tentang nasib bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup akan
berada di Neraka. Sebagai contoh adalah hadits berkut ini:
الوائدة والموؤودة
في النار
“Perempuan yang
mengubur bayi hidup-hidup dan bayinya akan masuk neraka.
(HR Abu Dawud)
Hadits tersebut
diriwayatkan oleh imam Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud dan Ibn Abi
Hatim. Konteks munculnya hadits tersebut (asbabul
wurudnya)
adalah bahwa Salamah Ibn Yazid al-Ju’fi pergi bersama saudaranya
menghadap Rasulullah SAW. Seraya bertanya : “ Wahai Rasul
sesungguhnya saya percaya Malikah itu dulu orang yang suka menyambung
silaturrahmi, memuliakan tamu, tapi ia meninggal dalam keadaan
Jahiliyah. Apakah amal kebaikannya itu bermanfaat baginya? Nabi
menjawab: tidak. Kami berkata: dulu ia pernah mengubur saudara
perempuanku hidup-hidup di zaman Jaihliyah. Apakah amal akan
kebaikannya bermanfaat baginya? Nabi menjawab: orang yang mengubur
anak perempuannya hidup-hidup dan anak yang dikuburnya berada di
Neraka, kecuali jika perempuan yang menguburnya itu masuk Islam, lalu
Allah memaafkannya. Demikian hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad
dan Nasa’i, dan dinilai sebagai hadits hasan secara sanad oleh imam
Ibnu Katsir.[15]
Hadits tersebut
dinilai Musykil dari sisi matan dan Mukhtalif dengan Al
Quran surat al Takwir :
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ
سُئِلَتْ (8)
بِأَيِّ ذَنْبٍ
قُتِلَتْ (9)
Artinya ; dan
apabila bayi – bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya,
karena dosa apakah dia dibunuh.(QS.
At-Takwir: 8-9)
Kalau seorang
perempuan yang mengubur bayinya itu masuk ke Neraka dapat dikatakan
logis, tetapi ketika sang bayi yang tidak tahu apa-apa itu juga masuk
ke Neraka, masih perlu adanya tinjauan ulang. Maka dari itu, hadits
tersebut harus ditolak meskipun sanadnya hasan, dan juga karena
adanya pertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat nilainya, yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Nabi pernah ditanya oleh paman Khansa’,
anak perempuan al-Sharimiyyah: Ya Rasul, siapa yang akan masuk Surga?
Beliau menjawab: Nabi Muhammad SAW akan masuk Surga, orang yang mati
syahid juga akan masuk Surga, anak kecil juga akan masuk Surga, anak
perempuan yang dikubur hidup-hidup juga akan masuk Surga. (HR.
Ahmad.)
0 komentar:
Posting Komentar