Pages

Subscribe:

Labels

Rabu, 26 September 2012

MUKHTALIFUL HADITS

ILMU MUKHTALIFUL HADITS
A.    PENGERTIAN
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib mendefiniskan Ilmu Mukhtaliful Hadits wa Musyakilihi sebagai:
الْعِلْمُ الَّذِيْ يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ ظَاهِرُهَا مُتَعَارِضٌ فَيُزِيْلُ تَعَارُضَهَا أَوْ يُوَفِّقُ بَيْنَهَا كَمَا يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ يَشْكُلُ فَهْمُهَا أَوْ تَصَوُّرُهَا فَيَدْفَعُ أَشْكَالَهَا وَيُوَضِّحُ حَقِيْقَتَهَا
Ilmu yang membahas hadits-hadits yang tampaknya saling bertentangan, lalu menghilangkan pertentangan itu, atau mengkompromikannya, di samping membahas hadits yang sulit dipahami atau dimengerti, lalu menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya.[1]
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa dengan menggunakan Ilmu Mukhtaliful Hadits, maka hadits-hadits yang tampaknya bertentangan dapat diatasi dengan menghilangkan pertentangan itu sendiri. Begitu juga dengan kemusykilan yang terlihat dalam suatu hadits dapat dihilangkan dan ditemukan hakikat dari kandungan hadits tersebut.
Definisi lain menyebutkan sebagai berikut:
علم يبحث عن الأحاديث التى ظاهرها التناقض من حيث امكان الجمع بينها اما بتقييد مطلقها أو بتخصيص عامها أو حملها على تعدد الحادثة أوغير ذلك.
Ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang menurut lahirnya saling bertentangan karena aanya kemungkinan dapat dikompromikan baik dengan cara mentataqyid terhadap hadits yang mutlak atau mentakhsis terhadap yang umum atau dengan cara membawanya pada beberapa kejadian yang relevan dengan hadits, dan lain-lain”[2]
Sasaran ilmu ini mengarah pada hadits- hadits yang saling berlawanan untuk dikompromikan kandungannya dengan jalan membatasi (Taqyid) kemutlakannya dan seterusnya.  Ilmu ini tidak akan muncul kecuali dari orang yang menguasai hadits dan fiqih.[3] Disebutkan bahwa Imam Syafi`i (w. 204 H) adalah ulama yang mempelopori munculnya disiplin Ilmu Mukhtaliful Hadits. Hal ini terlihat dalam karya besarnya “al-Umm”, meskipun beliau tidak secara khusus mengarang kitab mukhtalaf al-hadits tetapi didalam kitab al-Umm beliau mencantumkan pembahasan khusus tentang mukhtalaf al-hadits. Sebagian ulama’ memahami ilmu ini dengan ilmu Musykilul Hadits, ada juga yang menamai dengan ilmu Ta’wilul Hadits, dan sebagian yang lain menamainya dengan ilmu Talfiqul Hadits.
Yang menjadi objek ilmu ini adalah hadits-hadits yang saling berlawanan itu, untuk dikompromikan kandungannya baik dengan jalan membatasi (taqyid) kemutlakannya maupun dengan mengkhususkan (takhsis) keumumannya dan lain sebagainya, atau hadits-hadits yang musykil, untuk dita’wilkan, hingga hilang kemusykilannya, walaupun hadits-hadits musykil ini tidak saling berlawanan.[4]
  1. B.     SEPUTAR HADITS MUKHTALIF DAN HADITS MUSYKIL
Dalam penjelasan mengenai ilmu ini, nantinya akan berkaitan dengan hadits-hadits mukhtalif, atau bisa disebut sebagai objek kajian daripada disiplin ilmu ini. Oleh karenanya perlu adanya penjelasan tentang hadits mukhtalif tersebut.
Hadits mukhtalif adalah hadits–hadits yang mengalami pertentangan satu sama lain. Namun boleh jadi diantara pertentangan itu hanya terdapat pada dhohirnya saja, dan ketika ditelusuri sebenarnya masih memungkinkan untuk dikompromikan. Sementara menurut Nuruddin ‘Itr, hadits-hadits mukhtalif ialah hadits-hadits yang secara lahiriah bertentangan dengan kaidah-kaidah yang baku, sehingga mengesankan makna yang batil atau bertentangan dengan nash-nash syara’ yang lain.[5] Atau lebih jelasnya tentang mukhtalif ini adalah adanya pertentangan dengan Al-Quran, akal, sejarah, atau ilmu pengtahuan dan sains modern. Dan yang termasuk dalam pengertian hadits mukhtalif adalah hadits-hadits yang sulit dipahami (Musykil ).[6]
Dr. Abu al-Layth mendefinisikan hadits musykil sebagai hadits maqbul (sahih dan hasan) yang tersembunyi maksudnya kerana adanya sebab dan hanya diketahui setelah merenung maknanya atau dengan adanya dalil yang lain. Dinamakan musykil kerana maknanya yang tidak jelas dan sukar difahami oleh orang yang bukan ahlinya.
Ibn Furak (w. 406 H.) dalam kitabnya yang berjudul Musykil al-Hadits wa Bayanuh, berpendapat bahwa hadits musykil adalah hadits yang tidak dapat dengan jelas dipahami tanpa menyertakan penjelasan lain, seperti hadits-hadits yang kandungannya berisi tentang hal-hal yang berkaitan dengan dzat Allah, sifat-sifat maupun perbuatan-Nya yang menurut akal tidak layak dikenakan penisbatannya kepada-Nya kecuali setelah dilakukan ta’wil terhadap hadits-hadits tersebut.
  1. C.     SEBAB–SEBAB HADITS MUKHTALIF
    1. Faktor Internal Hadits (Al ‘Amil Al Dakhily)
Yaitu berkaitan dengan internal dari redaksi hadits tersebut. Bisaanya terdapat ‘illat (cacat) didalam hadits tersebut yang nantinya kedudukan hadits tersebut menjadi dha’if. Dan secara otomatis hadits tersebut ditolak ketika hadits tersebut berlawanan dengan hadits shohih.
  1. Faktor Eksternal (al’ Amil al Kharijy)
Yaitu faktor yang disebabkan oleh konteks penyampaian dari Nabi, yang mana menjadi ruang lingkup dalam hal ini adalah waktu, dan tempat dimana Nabi menyampaikan haditsnya.
  1. Faktor Metodologi (al Budu’ al Manhajy)
Yakni berkitan dengan cara bagaimana cara dan proses seseorang memahami hadits tersebut. Ada sebagian dari hadits yang dipahami secara tekstualis dan belum secara kontekstual yaitu dengan kadar keilmuan dan kecenderungan yang dimiliki oleh seorang yang memahami hadits, sehingga memunculkn hadits-hadits yang mukhtalif.
  1. Faktor Ideologi
Yakni berkaitan dengan ideology suatu madzhab dalam memahami suatu hadits, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan dengan berbagai aliran yang sedang berkembang.[7]
  1. D.    METODE PENYELESAIAN HADITS MUKHTALIF
Untuk mengawali pembahasan tentang metode atau cara menyelesaikan hadîts mukhtalif, sengaja dikutip pernyataan Imam al-Syafi’iy sebagai peringatan yang tegas dalam memahami hadits-hadits mukhtalif, yaitu:
لا تجعل عن رسول الله حديثين مختلفين أبدا إذا وجد السبيل إلى أن يكونا مستعملين, فلا نعطل منهما واحدا لأن علينا في كل ما علينا في صاحبه, ولا نجعل المختلف إلا فيما يجوز أن يستعمل أبدا ألا بطرح صاحبه[8]
Jangan mempertentangkan hadits Rasulullah satu dengan yang lainnya, apabila mungkin ditemukan jalan untuk menjadikan hadits - hadits tersebut dapat sama-sama diamalkan. Jangan tinggalkan salah satu antara keduanya karena kita punya kewajiban untuk mengamalkan keduanya. Dan jangan jadikan hadits - hadits bertentangan kecuali tidak mungkin untuk diamalkan selaian harus meninggalkan salah satu darinya.”
Peringatan ini disampaikan berdasarkan suatu prinsip bahwa tidak mungkin Rasulullah menyampaikan ajaran Islam yang antara satu dengan yang lainnya benar-benar saling bertentangan. Jika ada penilaian yang menyatakan bahwa satu hadits dengan hadits lainnya saling bertantangan, maka dalam hal ini ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, salah satu dari hadits tersebut bukanlah hadits maqbûl, melainkan hadits mardûd, baik dha’îf maupun mawdhû’, besar kemungkinan bertentangan dengan hadits shahîh atau hasan. Kedua, karena pemahaman yang keliru terhadap maksud yang dituju oleh hadits-hadits tersebut.[9] Karena bisa saja masing-masing hadits tersebut memiliki maksud dan orientasi yang berbeda sehingga keduanya dapat diamalkan menurut maksud masing-masing.
Berdasrkan hasil penelitian Edi Safri mengenai metode penyelesaian hadits-hadits mukhtalif menurut Imam al-Syafi’iy, ada tiga cara yang mesti dilakukan yakni penyelesaian dengan cara kompromi, penyelesaian dengan cara nasakh dan penyelesaian dengan cara tarjîh. Di mana ketiga cara tersebut dilakukan dengan berurutan. Artinya jika cara pertama tidak menemukan jalan keluar, maka ditempuh cara kedua, jika cara kedua belum juga diperoleh solusi, maka ditempuh cara ketiga. Berikut penjelasan lebih lanjut:
  1. Metode al-Jam’u (penggabungan atau pengkompromian)
Adapun yang dimaksud dengan metode kompromi dalam menyelesaikan Hadîts mukhtalif ialah menghilangkan pertentangan yang tampak (makna lahiriyahnya) dengan cara menelusuri titik temu kandungan makna masing-masingnya sehingga maksud sebenarnya yang dituju oleh satu dengan yang lainnya dapat dikompromikan. Artinya, mencari pemahaman yang tepat yang menunjukkan kesejalanan dan keterkaitan makna sehingga masing-masingnya dapat diamalkan sesuai dengan tuntutannya.Metode al-jam’u ini tidak berlaku bagi hadits–hadits dlaif ( lemah ) yang bertentangan dengan hadits–hadits yang shahih. Untuk menemukan benang merah antara kedua Hadîts yang saling bertentangan itu, dapat diselesaikan dengan empat cara, yaitu:
a)      Menggunakan Pendekatan Kaedah Ushûl
Penyelesaian berdasarkan pemahaman dengan menggunakan pendekatan kaedah ushul ialah memahami Hadîts Rasulullah dengan memperhatikan dan mempedomani ketentuan-ketentuan atau kaedah-kaedah ushul yang terkait yang telah dirumuskan oleh ulama (ushûliyûn). Adapun yang menjadi objek kajian ilmu ushûl fiqh ialah bagaimana meng-istimbâth-kan hukum dari dalil-dalil syara’, baik al-Qur’ân maupun Hadîts. Untuk sampai pada hukum-hukum yang dimaksud, maka terlebih dahulu dalil-dalil tersebut dipahami agar istimbâth hukum sesuai dengan yang dituju oleh dalil. Di antara kaedah ushûl yang terkait seperti âm, khash, muthlaq, dan muqayyad. Nash yang umum haruslah dipahami dengan keumumannya selama tidak ada nash lain yang men-takhsishkan-nya, apabila ada dalil yang men-thakhsish-kannya maka nash tersebut tidak lagi diberlakukan secara umum. Demikian juga bagi nash yang muthlaq dengan yang muqayyad.[10]
Sebagai contoh Hadîts tentang mengambil upah dari jasa berbekam:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ عَنْ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ الْمُغِيرَةِ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ أَبِي نُعْمٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كَسْبِ الْحَجَّامِ وَعَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَعَنْ عَسْبِ الْفَحْلِ 
Hadîts ini melarang mengambil upah dari jasa berbekam, kemudian hadis lain menyebutkan:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ يَعْنُونَ ابْنَ جَعْفَرٍ عَنْ حُمَيْدٍ قَالَ سُئِلَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ عَنْ كَسْبِ الْحَجَّامِ فَقَالَ احْتَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَجَمَهُ أَبُو طَيْبَةَ فَأَمَرَ لَهُ بِصَاعَيْنِ مِنْ طَعَامٍ وَكَلَّمَ أَهْلَهُ فَوَضَعُوا عَنْهُ مِنْ خَرَاجِهِ وَقَالَ إِنَّ أَفْضَلَ مَا تَدَاوَيْتُمْ بِهِ الْحِجَامَةُ أَوْ هُوَ مِنْ أَمْثَلِ دَوَائِكُمْ ِ
Hadîts ini menunjukkan bahwa bahwa Rasulullah pernah berbekam yang dilakukan oleh Abu Thaibah kemudian ia diberi upah oleh Rasulullah. Hadîts pertama dikeluarkan oleh al-Nasâ’iy, Hadîts kedua dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab yang sama. Di lihat dari sisi redaksi antara pertama dan kedua nampak saling bertentangan. Hadîts pertama menjelaskan adanya larangan mengambil keuntungan dari berbekam yang sekaligus menunjukkan bahwa perbuatan tersebut haram. Para ulama mencoba memahami pertenatangan tersebut dengan menggunakan pendekatan muthlaq dan muqyyad. Haramnya kasb al-hajâm merupakan suatu yang muthlaq, kemudian dibatasi oleh adanya qârinah untuk mengambil manfaat dari orang lain karena Rasullullah melakukannya.[11] Adanya qarinah menjadikan kasb al-hâjam tidak lagi haram akan tetapi makruh.
b)       Pemahaman Kontekstual
Pemahaman kontekstual yang dimaksud di sini ialah memahami Hadîts- Hadîts Rasulullah dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang menjadi latarbelakang disampaikannya Hadîts, dengan memperhatikan asbâb al-wurud Hadîts-Hadîts tersebut. Dalam kata lain dengan memperhatikan konteks.
Jika asbab al-wurud al-Hadîts tidak diperhatikan, maka akan terjadi kekeliruan dalam memahmi maksud yang dituju suatu Hadîts sehingga hal ini menimbulkan penilaian yang bertentangan antara satu Hadîts dengan yang lainnya. Oleh sebab itu mengetahui konteks Hadîts menjadi hal yang sangat urgen dalam pemahaman Hadîts. Jika konteks suatu Hadîts diikutsertakan dalam memahmi Hadîts-Hadîts mukhtalif, akan terlihat perbedaan konteks antara satu dengan yang lainnya sehingga pertentangan yang tampak secara lahiriyah dapat dilenyapkan dan masing-masing Hadîts dapat diketahui arah pemahamannya.
Sebagai contoh diambil Hadîts tentang meminang wanita yang telah dipinang orang lain.
و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى جَمِيعًا عَنْ يَحْيَى الْقَطَّانِ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ أَخْبَرَنِي نَافِعٌ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَبِعْ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلَا يَخْطُبْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ إِلَّا أَنْ يَأْذَنَ لَهُ.
Hadis lain yang diapandang bertentangan ialah:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ مَوْلَى الْأَسْوَدِ بْنِ سُفْيَانَ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ أَنَّ أَبَا عَمْرِو بْنَ حَفْصٍ طَلَّقَهَا الْبَتَّةَ وَهُوَ غَائِبٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا وَكِيلُهُ بِشَعِيرٍ فَسَخِطَتْهُ فَقَالَ وَاللَّهِ مَا لَكِ عَلَيْنَا مِنْ شَيْءٍ فَجَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لَيْسَ لَكِ عَلَيْهِ نَفَقَةٌ فَأَمَرَهَا أَنْ تَعْتَدَّ فِي بَيْتِ أُمِّ شَرِيكٍ ثُمَّ قَالَ تِلْكِ امْرَأَةٌ يَغْشَاهَا أَصْحَابِي اعْتَدِّي عِنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى تَضَعِينَ ثِيَابَكِ فَإِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِي قَالَتْ فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ فَكَرِهْتُهُ ثُمَّ قَالَ انْكِحِي أُسَامَةَ فَنَكَحْتُهُ فَجَعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا وَاغْتَبَطْتُ
Dalam Hadîts pertama Rasulullah melarang meminang seseorang yang telah dipinang oleh orang lain. Namun dalam Hadîts kedua justru Rasulullah sendiri yang meminang Fatimah Bint Qais untuk Usamah Ibn Zaid, yang sebelumnya telah dipinang oleh Mu’âwiyah dan Abu Jahm. Mengapa hal ini terjadi, apakah Rasulullah tidak konsisten dengan pernyataannya? Tentu pertanyaan seperti ini yang akan muncul ketika tidak dilihat konteks kedua Hadîts tersebut.
Imam al-Syafi’iy berpendapat bahwa Hadîts pertama tidak bertentangan dengan Hadîts kedua karena Hadîts pertama berlaku pada kondisi dan situasi tertentu; tidak berlaku pada situasi dan kondisi lainnya.[12] Adapun yang menjadi latar belakang dituturkannya Hadîts pertama ialah: Rasulullah ditanya tentang seseorang yang meminang perempuan dan pinangannya diterima untuk selanjutanya diteruskan kejenjang perkawinan. Akan tetapi datang lagi pinangan dari laki-laki lain yang ternyata lebih menarik hati perempuan tersebut, dibanding laki-laki pertama sehingga ia pun membatalkan pinangan pertama. Inilah yang menjadi konteks Hadîtspertama.
Sementara Hadîts kedua, berbeda konteksnya dengan Hadîts pertama. Fatimah bint Qais datang kepada Nabi seraya memberitahukan bahwa ia telah dipinang oleh Mu’âwiyah dan Abu Jahm. Rasulullah tidak menyanggah pernyataan ini – sesuai dengan Hadîts pertama – karena Rasulullah tahu bahwa Fatimah sendiri tidak suka dan belum menerima kedua pinangan itu, sebab Fatimah datang kepada Rasulullah untuk meminta pertimbangan. Lalu Rasulullah memberikan solusi dengan miminangkannya untuk Usamah. Hal ini menggambarkan bahwa konteks Hadîts pertama berbeda dengan konteks Hadîts kedua, Hadîts pertama kondisi di mana seorang perempuan dengan persetujuan walinya telah menerima pinangan dari seorang laki-laki, maka ia tidak boleh lagi menerima pinangan lelaki lainnya. Sementara Hadîts kedua kondisi di mana seorang laki-laki baru sebatas mengajukan proposal pinangan, belum ada kepastian diterima atau ditolak, maka dalam kondisi seperti ini seorang perempuan boleh menolak pinangan tersebut dan menerima pinangan yang disukainya.
c)      Pemahaman Korelatif
Pemahaman korelatif yang dimaksud ialah memperhatikan keterkaitan makna antara satu Hadîts dengan Hadîts lainnya yang dipandang mukhtalif yang membahas permasalahan yang sama sehingga pertentangan yang nampak secara lahiriyahnya dapat dihilangkan. Karena dalam menjelaskan satu persoalan tidak hanya ada satu atau dua Hadîts saja akan tetapi bisa saja ada bebarapa Hadîts yang saling terkait satu sama lainnya. Oleh karena itu semua Hadîts tersebut mesti dipahami secara bersama untuk dilihat hubungan makna antara satu Hadîts dengan Hadîts lainnya sehingga diperoleh gambaran yang utuh tentang satu masalah tersebut dan pertentangan yang terjadi dapat diselesaikan.
Sebagai contoh dikemukan Hadîts-Hadîts tentang waktu-waktu terlarang dalam melakukan shalat.[13]
حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ قَالَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ شَهِدَ عِنْدِي رِجَالٌ مَرْضِيُّونَ وَأَرْضَاهُمْ عِنْدِي عُمَرُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَشْرُقَ الشَّمْسُ وَبَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ
Dalam hadits lain dinyatakan
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ وَمُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ قَالَا حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ وَأَقِمْ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي قَالَ مُوسَى قَالَ هَمَّامٌ سَمِعْتُهُ يَقُولُ بَعْدُ وَأَقِمْ الصَّلَاةَ للذِّكْرَى
Dua Hadîts di atas sama-sama diriwaytkan oleh Imam al-Bukhâriy dalam kitab shahîh-nya. Hadîts pertama menegaskan larangan menunaikan shalat di waku setelah subuh hingga terbit matahari dan waktu setelah ashar hingga terbenamnya matahari. Sementara Hadîts kedua tidak dibatasi oleh waktu, di mana seseorang dapat melakukan shalat kapan saja apabila ia lupa menunaikan kewajibannya, baik watu setelah subuh hingga terbit matahari maupun waktu setelah asharhingga terbenam matahari.
Dua Hadîts di atas dipandang yang bertentangan. Keduanya tidak bisa dipertemukan begitu saja, sebelum dilihat riwayat lainnya yang dipandang relevan untuk menarik benang merah pertentangan antara keduanya. Karena shalat yang dimaksudkan oleh Hadîts pertama adalah shalat sunnat, sementara Hadîts kedua merupakan shalat wajib yang tidak dapat tidak mesti dikerjakan, dan jika lupa maka merupakan rukhshah melaksanakannya pada waktu ingat.
d)      Menggunakan Cara Ta’wîl
Takwil berarti memalingkan lafadz dari makna lahiriyahnya kepada makna lain yang dikandung oleh lafadz karena adanya qarinah yang menghendakinya. Hal ini dikukan makna lahiriyah yang ditampilkan oleh lafadz Hadîts dinilai tidak tepat untuk menjelaskan makna yang ditujunya, dengan mengambil kemungkinan makna lain yang lebih tepat di antara kemungkinan makna yang dikandung oleh lafadz. Pemalingan ini dilakukan kerana adanya dalil yang menghendakinya. Oleh al-Syafi’iy metode takwil dipandang dapat digunakan untuk menghilangkan pertenatangan antara satu Hadîts dengan Hadîts lainnya.Contoh:
ü      أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ ابْنِ عَجْلَانَ قَالَ حَدَّثَنِي عَاصِمُ بْنُ عُمَرَ بْنِ قَتَادَةَ عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَسْفِرُوا بِالْفَجْرِ
ü    و حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ وَإِسْحَقُ بْنُ مُوسَى الْأَنْصَارِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا مَعْنٌ عَنْ مَالِكٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ عَمْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ إِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُصَلِّي الصُّبْحَ فَيَنْصَرِفُ النِّسَاءُ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ مَا يُعْرَفْنَ مِنْ الْغَلَسِ و قَالَ الْأَنْصَارِيُّ فِي رِوَايَتِهِ مُتَلَفِّفَاتٍ
Hadîts petama pada contoh di atas menggambarkan bahwa waktu yang lebi afdhal untuk melaksanakan shalat subuh ialah waktu asfar, yakni waktu subuh sudah mulai terang. Sedangkan Hadîts kedua menjelaskan bahwa waktu yang afdhal untuk melaksanakan shalat subuh ia ghalas,  yakni susana gelap diujung malam dan datangnya cahaya subuh. Kedua Hadîts di atas menampilkan pertenatangan antara satu dengan lainnya, di mana Hadîts pertama di akhir waktu dan Hadîts kedua di awal waktu.
Dalam masalah ini Imam al-Syafi’iy justru tidak melihat pertentanagn antara kedua Hadîts di atas. Imam syafi’iy men-takwil-kan kata isfâr pada Hadîts pertama. Di mana isfâr yang semulanya dimaknai dengan “waktu subuh yang sudah mulai terang mendekati matahari terbit” di-takwil-kan dengan makna “awal waktu subuh yang ditandai dengan terbitnya cahaya fajar yang tampak di langit. Dalam kata lain, makna isfâr pada Hadîts pertama di-takwil-kan dengan makna ghalas pada Hadîts kedua. Hal ini dilakukan karena Hadîts kedua dipandang memiliki nilai lebih dibanding Hadîts kedua untuk dijadikan sebagaihujjah.
  1. Metode Nasikh Mansukh
Jika ternyata hadits tersebut tidak mungkin ditarjih, maka para ulama menempuh metode naskh-mansukh (pembatalan). Maka akan dicari makna hadits yang lebih datang dulu dan makna hadits yang datang belakangan. Otomatis yang datang lebih awal dinaskh dengan yang datang belakangan.
Secara bahasa naskh bisa berarti menghilangkan (al–izalah), bisa pula berarti al-naql (memindahkan). Sedangkan secara istilah naskh berarti penghapusan yang dilakukan oleh syari’ (pembuat syariat; yakni Allah dan Rasulullah) terhadap ketentuan hukum syariat yang datang lebih dahulu dengan dalil syar’i yang datang belakangan. Dengan definisi tersebut, berarti bahwa hadits-hadits yang sifatnya hanya sebagai penjelasnya (bayan) dari hadits yang bersifat global atau hadits-hadits yang memberikan ketentuan khusus (takhsish) dari hal-hal yang sifatnya umum, tidak dapat dikatakan sebagai hadits nasikh (yang menghapus).
Namun perlu diingat bahwa proses naskh dalam hadits hanya terjadi disaat Nabi Muhammad SAW. masih hidup. Sebab yang berhak menghapus ketentuan hukum syara’, sesungguhnya hanyalah syari’, yakni Allah dan Rasulullah. Naskh hanya terjadi ketika pembentukan syari’at sedang berproses. Artinya, tidak akan terjadi setelah ada ketentuan hukum yang tetap (ba’da istiqroril hukmi).
Salah satu contoh dua hadits yang saling bertentangan dan bisa diselesaikan dengan metode naskh-mansukh adalah hadits tentang hukum makan daging kuda:
ü     أَخْبَرَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ قَالَ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ عَنْ ثَوْرِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ صَالِحِ بْنِ يَحْيَى بْنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْخَيْلِ وَالْبِغَالِ وَالْحَمِيرِ وَكُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ
ü     حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ وَنَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ جَابِرٍ قَالَ أَطْعَمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لُحُومَ الْخَيْلِ وَنَهَانَا عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ.
Dua hadits di atas terlihat saling bertantangan, hadits pertama bersisi tentang larangan makan daging kuda yang sekaligus menjadikan ia haram. Hadits kedua menunjukkan kebolahan memakan daging kuda. Pertenatangan ini mesti dihilangkan dengan cara nasakh. Hukum keharaman makan daging kuda pada hadits pertama telah di-nasakh-kan oleh hukum kobolehan makan daging kuda pada hadits Jâbir Ibn Abdallah yang datang setelahnya.[14]
  1. Metode Tarjih
Metode ini dilakukan setelah upaya kompromi tidak memungkinkan lagi. Maka seorang peneliti perlu memilih dan mengunggulkan mana diantara hadits-hadits yang tampak bertentangan yang kualitasnya lebih baik. Sehingga hadits yang lebih berkualitas itulah yang dijadikan dalil.
Harus diakui bahwa ada beberapa matan hadits yang saling bertentangan. Bahkan ada juga yang benar-benar bertentangan dengan Al-Quran. Antara lain adalah hadits tentang nasib bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup akan berada di Neraka. Sebagai contoh adalah hadits berkut ini:
الوائدة والموؤودة في النار
Perempuan yang mengubur bayi hidup-hidup dan bayinya akan masuk neraka. (HR Abu Dawud)
Hadits tersebut diriwayatkan oleh imam Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud dan Ibn Abi Hatim. Konteks munculnya hadits tersebut (asbabul wurudnya) adalah bahwa Salamah Ibn Yazid al-Ju’fi pergi bersama saudaranya menghadap Rasulullah SAW. Seraya bertanya : “ Wahai Rasul sesungguhnya saya percaya Malikah itu dulu orang yang suka menyambung silaturrahmi, memuliakan tamu, tapi ia meninggal dalam keadaan Jahiliyah. Apakah amal kebaikannya itu bermanfaat baginya? Nabi menjawab: tidak. Kami berkata: dulu ia pernah mengubur saudara perempuanku hidup-hidup di zaman Jaihliyah. Apakah amal akan kebaikannya bermanfaat baginya? Nabi menjawab: orang yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup dan anak yang dikuburnya berada di Neraka, kecuali jika perempuan yang menguburnya itu masuk Islam, lalu Allah memaafkannya. Demikian hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan Nasa’i, dan dinilai sebagai hadits hasan secara sanad oleh imam Ibnu Katsir.[15]
Hadits tersebut dinilai Musykil dari sisi matan dan Mukhtalif dengan Al Quran surat al Takwir :
 وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ (8) بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ (9)
Artinya ; dan apabila bayi – bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.(QS. At-Takwir: 8-9)
Kalau seorang perempuan yang mengubur bayinya itu masuk ke Neraka dapat dikatakan logis, tetapi ketika sang bayi yang tidak tahu apa-apa itu juga masuk ke Neraka, masih perlu adanya tinjauan ulang. Maka dari itu, hadits tersebut harus ditolak meskipun sanadnya hasan, dan juga karena adanya pertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat nilainya, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Nabi pernah ditanya oleh paman Khansa’, anak perempuan al-Sharimiyyah: Ya Rasul, siapa yang akan masuk Surga? Beliau menjawab: Nabi Muhammad SAW akan masuk Surga, orang yang mati syahid juga akan masuk Surga, anak kecil juga akan masuk Surga, anak perempuan yang dikubur hidup-hidup juga akan masuk Surga. (HR. Ahmad.)

0 komentar:

Posting Komentar