Pages

Subscribe:

Labels

Rabu, 26 September 2012

TAKHRIJ HADIST

ILMU TAKHRIJ HADIST


A. Pengertian.

Takhrij menurut bahasa memiliki beberapa makna. Yang paling mendekati disini adalah adalah berasal dari kata kharaja (
خرج) yang artinya nampak dari tempatnya atau keadaaannya, dan terpisah, dan kelihatan. Demikian juga kata al-ikhraj (الاخرج) yang artinya menampakkan dan memperlihatkannya. Dan kata al-makhraj (المخرج) yang artinya tempat keluar dan akhraj al-hadist wa kharajahu artinya menampakkan dan memperlihatkan hadist kepada orang dengan menjelaskan tempat keluarnya.

SYARAT-SYARAT PERAWI DALAM MENTRANSFORMASI PERIWAYATAN HADITS

SYARAT-SYARAT PERAWI DALAM MENTRANSFORMASI PERIWAYATAN HADITS
 
  1. Syarat-syarat seorang perawi
Syarat-syarat yang harus terpenuhi seseorang ketika menyampaikan riwayat hadits sehingga periwatannya dinyatakan sah ialah orang itu harus :
  • Beragama Islam.
  • Baligh.
  • Berakal.
  • Tidak fasiq.
  • Tidak terdapat tingkah laku yang mengurangi atau menghilangkan kehormatan (muru’ah).
  • Mampu menyampaikan hadits yang telah dihafalnya.
  • Sekiranya dia memiliki catatan hadits, maka catatan itu dapat dipercaya.
  • Mengetahui dengan baik apa yang merusakkan maksud hadits yang diriwayatkannya secara makna.

AL-JARH WA AL-TA’DIL

AL-JARH WA AL-TA’DIL

A.  Pengertian
       Kata al-jarh adalah bentuk isim masdar dari kata جَرْحًا – يَجْرُحُ – جَرَحَ  yang berarti melukai atau luka yang mengalirkan darah.[1] Atau memaki, menista, dan menjelek-jelekan (baik secara berhadapan langsung maupun dari belakang).[2]
       Dalam istilah ilmu hadits, kata al-jarh berarti terlihatnya sifat pribadi periwayat yang tidak adil, atau sifat buruk dibidang hafalannya dan kecermatannya, yang menyebabkan gugurnya atau lemahnya riwayat yang disampaikan. Atau sifat seorang rawi yang dapat mencacatkan keadilan dan kehafalannya. Al-jarh dapat pula diartikan memberikan sifat kepada seorang perawi dengan sifat yang menyebabkan pendhaifan riwayatnya atau tidak diterima riwayatnya.

MUKHTALIFUL HADITS

ILMU MUKHTALIFUL HADITS
A.    PENGERTIAN
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib mendefiniskan Ilmu Mukhtaliful Hadits wa Musyakilihi sebagai:
الْعِلْمُ الَّذِيْ يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ ظَاهِرُهَا مُتَعَارِضٌ فَيُزِيْلُ تَعَارُضَهَا أَوْ يُوَفِّقُ بَيْنَهَا كَمَا يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ يَشْكُلُ فَهْمُهَا أَوْ تَصَوُّرُهَا فَيَدْفَعُ أَشْكَالَهَا وَيُوَضِّحُ حَقِيْقَتَهَا
Ilmu yang membahas hadits-hadits yang tampaknya saling bertentangan, lalu menghilangkan pertentangan itu, atau mengkompromikannya, di samping membahas hadits yang sulit dipahami atau dimengerti, lalu menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya.[1]

HADIST MAUDHU’

HADIST MAUDHU’

A. Pengertian Hadits Maudhu
            الحديث secara bahasa berarti الجديد, yaitu sesuatu yang baru, selain itu hadits pun berarti الخبر , berita. Yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan  dari seseorang kepada orang yang lain. Sedangkan موضع merupakan derivasi dari kata  وضع – يضع – وضعا yang secara bahasa berarti menyimpan, mengada-ngada atau membuat-buat.
            Adapun pengertian hadits maudhu’ (hadits palsu) secara istilah ialah:
ما نسب الى رسول الله صلى الله عليه و السلام إختلافا و كذبا ممّا لم يقله أويقره
Apa-apa yang disandarkan kepada Rasulullah secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan dan memperbuatnya.

HADIST DHOIF

BAB I
PENDAHULUAN
Hadits Dhaif

 A.    LATAR BELAKANG

Ilmu hadits merupakan salah satu pilar-pilar tsaqofah islam yang memang sudah selayaknya dimiliki oleh setiap kaum muslim. Dewasa ini, begitu banyak opini umum yang berkembang yang mengatakan bahwa ilmu hadits hanya cukup dipelajari oleh para salafus sholeh yang memang benar-benar memilki kredibilitas dalam ilmu agama sehingga stigma ini membuat sebagian kaum muslim merasa tidak harus untuk mempelajari ilmu hadits.

INKARUS SUNNAH

BAB 1
INKARUS SUNNAH
A. Latar Belakang
Pada zaman nabi, umat Islam sepakat bahwa sunnah merupakan salah satu sumber ajaran Islam disamping Al-Qur’an. Belum atau tidak ada bukti sejarah yang menjelaskan bahwa sumber ajaran Islam. Bahkan pada masa al Khulafa’ al Rasyidin dan Bani Umayyah, belum terlihat secara jelas adanya kalangan umat Islam. Barulah pada awal masa Abbasiyah, muncul secara jelas sekelompok kecil umat Islam yang menolak sunah sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Mereka itu kemudian dikenal sebagai orang-orang yang berpaham ingkar sunnah. Mereka itu oleh al Syafi’i dibagi tiga golongan yaitu (1) golongan yang  menolak seluruh sunnah; (2) golongan yang menolak sunnah, kecuali bila sunnah, kecuali bila sunnah itu memiliki kesamaan dengan petunjuk Al-Qur’an; (3) golongan yang menolak sunnah yang berstatus ahad dan hanya menerima sunnah yang berstatus mutawatir.